Monday, February 17, 2014

Inside Borneo : Dayak Kenyah

Potret Masyarakat Dayak Kenyah, Long Alango 1950-an
Cobalah kenali sejarah budaya walaupun sedikit. Dari Sabang hingga Merauke banyak sekali kepulauan dan masyarakat lokal yang tinggal di dalamnya. Salah satu pengalaman yang berharga ketika saya mencari pemukiman masyarakat Dayak Kenyah di Kalimantan. Saya mencoba menyusuri persebaran mereka dari Kalimantan Timur hingga masuk ke pedalaman Kalimantan bagian Utara. 

Penyusuran kali ini, selain bertemu masyarakat Dayak Kenyah di pedalaman, saya ingin melihat kesenian, budaya dan tradisi yang dikatakan kuno. Selama perjalanan, selain tarian dan permainan musik, hal yang sudah menjadi langka untuk dijumpai adalah tato dan kuping panjang. Hal itu merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat Dayak Kenyah. Karena tidak semua masyarakat Dayak di Kalimantan menggunakan tato dan memanjangkan kupingnya. Tradisi ini pun sudah ada sejak turun temurun. Tahu mengapa?

Kuping panjang Apui (Nenek) Lembesan
Dulu, alasan orang Dayak Kenyah memanjangkan kupingnya adalah untuk membedakan yang mana manusia dan Orang utan. Jika masih kecil, guyonan mereka kalau tidak memanjangkan kupingnya, akan dibilang, "ihh seperti Orang utan aja..". Selain itu, alasan memanjangkan kuping adalah membedakan antara laki-laki dan perempuan. Karena saat malam hari kondisi penerangan pemukiman atau rumah sangatlah minim. 

Perbedaan kuping panjang laki-laki dan perempuan adalah kuping perempuan lebih panjang dibandingkan laki-laki. Hal itu dikarenakan laki-laki harus bekerja atau berburu makanan, maka kuping tidak terlalu panjang dan tidak terlalu berat membawa anting-anting selama perjalanan. Anting-anting tersebut dipasang setiap waktunya dimulai sejak usia dini. Mereka pun beranggapan, perempuan yang memiliki telinga panjang merupakan wanita yang cantik di desa tersebut. Kuping panjang pun pernah menjadi identitas diri untuk membedakan Dayak Suku Kenyah dengan Dayak suku lainnya. 

Meski tradisi ini masih dijalani 70 tahunan silam, kini sudah jarang untuk bertemu masyarakat Kenyah yang memiliki kuping panjang. Setidaknya, saya masih bertemu di beberapa desa. Usia yang paling muda, kini sudah mencapai usia 80 tahunan. 

Dayak Kenyah Generasi 80+
Kiri ke kanan : Oko Balan Ingan, Apui Ahan Lian dan Apui Lembasan
Sangat disayangkan, banyak masyarakat Dayak Kenyah, terutama kaum wanita memotong kuping panjangnya agar terlihat normal kembali. Menurut mereka setelah mengenal masyarakat luar, memanjangkan kuping merupakan hal yang tidak baik dilakukan. Bagi masyarakat luar pun berpikir bahwa, orang yang kupingnya panjang dikatakan aneh, tidak seperti masyarakat lainnya yang hidup di perkotaan. 

Selain itu, budaya tato Dayak Kenyah pun merupakan ritual yang dapat dilakukan seiring waktu dengan pembuatan kuping panjang. Pada zamannya, tato dan memanjangkan kuping merupakan kegiatan yang tak terpisahkan. Namun, tidak semua masyarakat yang memanjangkan kuping lalu menato tubuhnya. Hanya orang tertentu saja yang bisa menato tubuh. Tato Dayak Kenyah yang saya jumpai terdapat pada kaum wanita. 

Tato bagi mereka merupakan simbol kehidupan. Kehidupan yang terjadi pada masyarakat Dayak suku Kenyah berawal atas terciptanya suatu raga dan jiwa yang baru. Suatu kelahiran dianggap mereka sebagai manusia yang sempurna dengan keadaan murni dan belum memiliki tato. Leluhur Dayak Kenyah pun memberikan keyakinan kepada keturunannya agar menato tubuh pada saat memasuki usia dewasa. 

Hasil rajah tangan motif Dayak Kenyah Nek Djigit 

Tato di kaki merupakan kaum bangsawan
Tato Dayak Kenyah yang saya jumpai di buat di tangan, dari jari-jari hingga pergelangan. Ada juga yang membuat tato di bagian kaki. Tato dibagian kaki merupakan kaum yang terhormat. Pembuatan tato pun dikerjakan dalam kurun waktu yang lama dengan merasakan sakit akibat luka dari proses menato. 

Tato suku Kenyah dalam kesehariannya merupakan sebuah tanda yang menghasilkan sebuah makna dari simbol yang ada. Tato merupakan bagian dari sejarah budaya maupun kesenian yang tercipta dari kepingan zaman. Tato menjelaskan juga bahwa Indonesia merupakan tempat pembuat tato pada zaman dulu. 



Other Stories ; 

Monday, February 10, 2014

Local Citizen Residential : Dayak Kenyah

Desa Masyarakat Dayak Suku Kenyah di Bahau Hulu

Sudah sekitar tiga mingguan saya berada di pedalaman Kalimantan. Tepatnya, di Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau. Senang rasanya sudah bisa berbaur dan dapat diterima oleh masyarakat pedalaman. Memang, saat pertama kali saya datang, selain rasa bahagia karena sudah mencapai tujuan awal, yaitu menemukan pemukiman pedalaman Suku Kenyah, di minggu pertama, saya masih merasakan kesepian, terutama di malam hari. Namanya juga pedalaman.. Hahahaa

Jangan salah dengan istilah pedalaman. Pertama kali saya membayangkan "pedalaman" adalah pemukiman masyarakat tanpa adanya fasilitas dan masih tradisional. Akan tetapi, pemukiman masyarakat pedalaman sudah cukup maju dan masih berkembang. Hal yang membuat kangen akan pedalaman Bahau Hulu adalah udara yang segar, adem, dan mendapatkan kedamaian di daerah ini. 

Kalau boleh jujur, hari pertama saya tinggal di rumah Kepala Adat, Pak Anyie Apui, di Desa Long Alango, saya rasanya ingin pulang! Hanya alasan klasik, bukan karena disini tidak adanya sinyal, bukan juga karena penggunaan listrik yang terbatas disaat malam hari. Rasa ingin pulang karena kangen rumah. Alasan klasik, bukan? Tapi itu hanya perasaan saja karena perjalanan ini saya tempuh sendirian.

Membuat wadah dari anyaman rotan

Gotong royong untuk membuat minuman dari singkong

Wadah untuk memasak minuman dari singkong

Rasanya agak asin manis, katanya terasi tapi terbuat dari buah

Aktivitas warga di pedalaman adalah bertani, menganyam, hingga berburu. Jadi, jangan pernah berpikir akan kesusahan mencari makan kalau pergi ke pedalaman. Makanan disini menurut saya organik. Makanan sehari-hari berasal dari hasil menanam sendiri, seperti beras, singkong, kangkung, pakis hingga sayuran yang berasal dari hutan. 

Kalau kamu seorang vegetarian atau vegan, jangan cemas untuk datang ke pedalaman. Karena masyarakat Dayak juga gemar makan sayuran. Selain itu, masyarakat Dayak juga suka mengkonsumsi daging, jika mereka mau, harus berburu dulu. Berburu dilakukan oleh laki-laki. Biasanya mereka lebih memprioritaskan daging babi daripada rusa atau kijang atau hewan buruan lainnya. Sangat mandiri bukan masyarakat pedalaman? Mereka bisa saja hidup tanpa uang, jika kalau mereka menginginkannya. 

Kegiatan yang tidak akan pernah berhenti dilakukan adalah mencari kayu dan masak. Jelas sudah, kayu dibakar untuk memasak. Jenis dapur disetiap rumah di desa-desa kurang lebih hampir sama. Bagi masyarakat kota, pasti tidak terbiasa memasak disini, karena di dalam dapur pasti mengepul asap yang cukup tebal. 


Anjing yang ada di perkampungan sering menemani masyarakat berburu
Selama beberapa minggu di pedalaman, sedikit rasa jenuh didapati. Tentu saja, maupun sekali-kali sebelum tidur saya masih mendengarkan musik dari gadget, ketergantungan akan elektronik berkurang bagi saya. Selalu ada saja yang dilakukan setiap harinya. Selain bersosialisasi, selama di pedalaman, saya dapat melatih skill, seperti menganyam, memasak atau bertani. Meskipun terik matahari di sana sangatlah terik, bercocok tanam hal yang saya gemari daripada menganyam. Menurut saya, menganyam diperuntukan bagi manusia yang benar-benar rajin dan telaten. 

Budaya yang mereka berikan sangatlah ramah. Jika bermain ke rumah warga, setidaknya disuguhkan kopi atau teh hangat. Menurut saya, minuman selamat datang dari mereka kurang lebih manisnya seperti sajiannya orang Jogja. Untung saja masyarakatnya sudah bisa berbahasa Indonesia, jika tidak, janganlah cemas, anak-anak Dayak Kenyah kebanyakannya mengerti dua bahasa, yaitu Indonesia dan bahasa Kenyah. Jadi, dalam perjalanan saya kali ini, sering ditemani sama anak-anak, biasanya sepulang mereka sekolah saya diajak jalan-jalan. Sore hari biasanya mandi di sungai! Hati-hati ada buaya katanya.. 

Desa Long Kemuat, Bahau Hulu

Salah satu pengalaman lainnya yang membuat saya terkesan, bertamu di pagi hari ke tempat suami istri yang usianya sudah mencapai 80 tahunan lebih. Mereka kurang berbahasa Indonesia dengan lancar. Selama saya bertamu kesana, kebingungan saya akan bahasa teralihkan karena si Uwe' (panggilan seorang ibu dalam bahasa Kenyah), pandai menganyam sebuah topi khas Dayak Kenyah. Cukup susah untuk mempelajarinya pertama kali. Bahan rotan berbilah tipis dan kecil, cukup pusing untuk mempelajari pola anyaman, asal konsentrasi penuh, topimu akan jadi juga. Senang rasanya bisa membantu dan dikasih pula topi buatan tangan sebagai kenang-kenangan.

Sayang sekali, kuping si Uwe' dipotong. Dulunya kupingnya panjang seperti cerita atau gambar wanita masyarakat Dayak Suku Kenyah. Banyak terjadi pergeseran budaya karena adanya moderinisasi yang tidak disadari dampaknya ke masa depan.  

  
Topi yang dianyam, terbuat dari rotan. Ditambah manik-manik agar tambah menarik

Hari pun berganti hari. Tibalah saatnya saya harus meninggalkan desa di pedalaman Kalimantan ini. Perasaan sedih pun ternyata muncul. Ada perasaan berat hati untuk kembali ke Ibu Kota. Tidak banyak peristiwa saya abadikan dengan mata kamera saya. Kenangan yang terekam oleh mata saya, akan terkenang, tak akan terlupakan dan hanya dari cerita inilah bisa abadi. 

Saya berharap dapat berkunjung kesana lagi, bertemu dengan masyarakat Dayak Kenyah dan bentangan nuansa alam yang indah. Masyarakat kota bukanlah masyarakat adat, masyarakat adat bukanlah masyarakat perkotaan. Maka masyarakat adat akan mati jika tidak ada hutan. 

Terima kasih telah menjaga hutan dan mari kita menjaga hutan untuk menjadi warisan turun-temurun.



Other stories ;