Desa Masyarakat Dayak Suku Kenyah di Bahau Hulu |
Sudah sekitar tiga mingguan saya berada di pedalaman Kalimantan. Tepatnya, di Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau. Senang rasanya sudah bisa berbaur dan dapat diterima oleh masyarakat pedalaman. Memang, saat pertama kali saya datang, selain rasa bahagia karena sudah mencapai tujuan awal, yaitu menemukan pemukiman pedalaman Suku Kenyah, di minggu pertama, saya masih merasakan kesepian, terutama di malam hari. Namanya juga pedalaman.. Hahahaa
Jangan salah dengan istilah pedalaman. Pertama kali saya membayangkan "pedalaman" adalah pemukiman masyarakat tanpa adanya fasilitas dan masih tradisional. Akan tetapi, pemukiman masyarakat pedalaman sudah cukup maju dan masih berkembang. Hal yang membuat kangen akan pedalaman Bahau Hulu adalah udara yang segar, adem, dan mendapatkan kedamaian di daerah ini.
Kalau boleh jujur, hari pertama saya tinggal di rumah Kepala Adat, Pak Anyie Apui, di Desa Long Alango, saya rasanya ingin pulang! Hanya alasan klasik, bukan karena disini tidak adanya sinyal, bukan juga karena penggunaan listrik yang terbatas disaat malam hari. Rasa ingin pulang karena kangen rumah. Alasan klasik, bukan? Tapi itu hanya perasaan saja karena perjalanan ini saya tempuh sendirian.
Membuat wadah dari anyaman rotan |
Gotong royong untuk membuat minuman dari singkong |
Wadah untuk memasak minuman dari singkong |
Rasanya agak asin manis, katanya terasi tapi terbuat dari buah |
Aktivitas warga di pedalaman adalah bertani, menganyam, hingga berburu. Jadi, jangan pernah berpikir akan kesusahan mencari makan kalau pergi ke pedalaman. Makanan disini menurut saya organik. Makanan sehari-hari berasal dari hasil menanam sendiri, seperti beras, singkong, kangkung, pakis hingga sayuran yang berasal dari hutan.
Kalau kamu seorang vegetarian atau vegan, jangan cemas untuk datang ke pedalaman. Karena masyarakat Dayak juga gemar makan sayuran. Selain itu, masyarakat Dayak juga suka mengkonsumsi daging, jika mereka mau, harus berburu dulu. Berburu dilakukan oleh laki-laki. Biasanya mereka lebih memprioritaskan daging babi daripada rusa atau kijang atau hewan buruan lainnya. Sangat mandiri bukan masyarakat pedalaman? Mereka bisa saja hidup tanpa uang, jika kalau mereka menginginkannya.
Kegiatan yang tidak akan pernah berhenti dilakukan adalah mencari kayu dan masak. Jelas sudah, kayu dibakar untuk memasak. Jenis dapur disetiap rumah di desa-desa kurang lebih hampir sama. Bagi masyarakat kota, pasti tidak terbiasa memasak disini, karena di dalam dapur pasti mengepul asap yang cukup tebal.
Anjing yang ada di perkampungan sering menemani masyarakat berburu |
Selama beberapa minggu di pedalaman, sedikit rasa jenuh didapati. Tentu saja, maupun sekali-kali sebelum tidur saya masih mendengarkan musik dari gadget, ketergantungan akan elektronik berkurang bagi saya. Selalu ada saja yang dilakukan setiap harinya. Selain bersosialisasi, selama di pedalaman, saya dapat melatih skill, seperti menganyam, memasak atau bertani. Meskipun terik matahari di sana sangatlah terik, bercocok tanam hal yang saya gemari daripada menganyam. Menurut saya, menganyam diperuntukan bagi manusia yang benar-benar rajin dan telaten.
Budaya yang mereka berikan sangatlah ramah. Jika bermain ke rumah warga, setidaknya disuguhkan kopi atau teh hangat. Menurut saya, minuman selamat datang dari mereka kurang lebih manisnya seperti sajiannya orang Jogja. Untung saja masyarakatnya sudah bisa berbahasa Indonesia, jika tidak, janganlah cemas, anak-anak Dayak Kenyah kebanyakannya mengerti dua bahasa, yaitu Indonesia dan bahasa Kenyah. Jadi, dalam perjalanan saya kali ini, sering ditemani sama anak-anak, biasanya sepulang mereka sekolah saya diajak jalan-jalan. Sore hari biasanya mandi di sungai! Hati-hati ada buaya katanya..
Desa Long Kemuat, Bahau Hulu |
Salah satu pengalaman lainnya yang membuat saya terkesan, bertamu di pagi hari ke tempat suami istri yang usianya sudah mencapai 80 tahunan lebih. Mereka kurang berbahasa Indonesia dengan lancar. Selama saya bertamu kesana, kebingungan saya akan bahasa teralihkan karena si Uwe' (panggilan seorang ibu dalam bahasa Kenyah), pandai menganyam sebuah topi khas Dayak Kenyah. Cukup susah untuk mempelajarinya pertama kali. Bahan rotan berbilah tipis dan kecil, cukup pusing untuk mempelajari pola anyaman, asal konsentrasi penuh, topimu akan jadi juga. Senang rasanya bisa membantu dan dikasih pula topi buatan tangan sebagai kenang-kenangan.
Sayang sekali, kuping si Uwe' dipotong. Dulunya kupingnya panjang seperti cerita atau gambar wanita masyarakat Dayak Suku Kenyah. Banyak terjadi pergeseran budaya karena adanya moderinisasi yang tidak disadari dampaknya ke masa depan.
Topi yang dianyam, terbuat dari rotan. Ditambah manik-manik agar tambah menarik |
Hari pun berganti hari. Tibalah saatnya saya harus meninggalkan desa di pedalaman Kalimantan ini. Perasaan sedih pun ternyata muncul. Ada perasaan berat hati untuk kembali ke Ibu Kota. Tidak banyak peristiwa saya abadikan dengan mata kamera saya. Kenangan yang terekam oleh mata saya, akan terkenang, tak akan terlupakan dan hanya dari cerita inilah bisa abadi.
Saya berharap dapat berkunjung kesana lagi, bertemu dengan masyarakat Dayak Kenyah dan bentangan nuansa alam yang indah. Masyarakat kota bukanlah masyarakat adat, masyarakat adat bukanlah masyarakat perkotaan. Maka masyarakat adat akan mati jika tidak ada hutan.
Terima kasih telah menjaga hutan dan mari kita menjaga hutan untuk menjadi warisan turun-temurun.
Other stories ;
No comments:
Post a Comment