Sunday, June 8, 2014

Java Trip : Prambanan Temple


Jangan merasa hilang arah jika datang ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Banyak pilihan yang bisa dijadikan objek berwisata. Salah satunya, wisata untuk mengenal budaya dengan biaya yang relatif murah. Dengan menggunakan Transjogja seharga tiga ribu rupiah, saya dapat berkeliling Kota Budaya. Pilihan yang tepat jika ingin melihat isi kota seperti apa saja. 

Pagi itu, saya dapat melihat sebagian aktifitas warga, hiruk pikuk kendaraan, kegiatan jual beli di pasar hingga beberapa titik kemacetan di daerah sekolah saya lihat dari balik kaca. Selain itu, saya melewati jalan Malioboro, yang merupakan pusat para wisatawan. Sekitar 45 menit waktu perjalanan atau 17 kilometer jarak tempuh menuju timur laut Yogyakarta, saya menentukan tujuan untuk berwisata ke Candi Prambanan. 



Setelah sampai di kecamatan Prambanan, saya sempat kebingungan. Apa benar Candi Prambanan ada disini. Setelah keluar dari halte, melihat sekeliling, saya tidak melihat tanda-tandanya candi berdiri. Setelah bertanya penjual gado-gado dan sekaligus mengisi perut, ternyata candi ada disebrang jalan terhalang pepohonan.

Menyeruput teh hangat dengan ditiupi udara yang cukup sejuk bercampur hawa pasar, sejenak melupakan hawa Jakarta. Pengalaman yang berbeda dari rutinitas biasanya, membawa imajinasi saya terhadap bahasa logat jawa, membuat saya tersenyum bahagia. Bahasa dan keramahan mereka yang santun, khas orang Jawa, bagi saya seperti melihat adegan seni pertunjukkan.





Setelah memasuki kawasan Candi Prambanan, ada aturan untuk memakai kain batik. Hal ini merupakan tata krama untuk memasuki candi. Setelah memakai kain yang sudah tersedia, saya melihat kemegahan candi lebih dekat. Banyak pemandu dual language yang bersedia mengajak berkeliling kawasan candi.

Dari hasil menguping penjelasan pemandu wisata, ternyata Candi Prambanan berbeda dengan Candi Borobudur. Salah satu perbedaannya adalah Prambanan merupakan bangunan bersejarah ajaran Hindu. Dibangun pada peradaban Jawa Kuno, abad ke-9 masehi. Candi ini merupakan warisan budaya yang disahkan oleh UNESCO. Prambanan merupakan salah satu candi Hindu termegah di Asia Tenggara dengan tinggi bangunan hingga 47 meter.

Selain melihat bangunan Hindu yang megah, coba melihat lebih dekat lagi. Banyak relief dan arca yang menarik untuk dipelajari. Asal muasal candi ini tercipta karena masyarakat Jawa masa itu ingin mempersembahkannya kepada para dewa. Prambanan pun dipersembahkan kepada Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pemusnah. Ketiga dewa tersebut bernama Brahma, Wisnu dan Siwa, yang merupakan Tuhan dalam ajaran agama Hindu, dikenal dengan nama Trimurti.




Jika memasuki daerah candi yang sedang direnovasi, diwajibkan untuk memakai helm untuk keselamatan kepala. Tadinya saya bertanya-tanya, buat apa memakainya. Tidak lama kemudian, "tokk!", kepala saya membentur bagian atas pintu candi. Ternyata sangat berguna untuk mengantasipasi terjadinya benturan di kepala saat memasuki pintu-pintu candi. Keselamatan merupakan hal utama yang perlu diperhatikan pada saat berwisata.

Selain keagungan bangunan Prambanan, saya takjub dengan relief yang terlihat di bagian dinding candi. Relief merupakan gambaran potongan dari cerita mengenai sejarah masa lalu. Sangat menarik untuk melihat relief-relief di Prambanan. Ada banyak jika ingin mengetahui cerita dibalik sebuah relief satu persatu. Setiap bagiannya memiliki makna dan cerita tersendiri.








Sunday, April 6, 2014

Never Met With Cassiopea : Kakaban Island

Kembali menapakkan kaki di Kalimantan merupakan hal yang menyenangkan. Fenomena alam dan masyarakat lokalnya membuat saya tertarik untuk datang kembali. Setelah saya menjelajah ke pedalaman Dayak Kenyah, kali ini saya bersama teman-teman datang menjelajah ke danau, di sebuah kepulauan Kalimantan Timur. 

Danau ini tercipta karena adanya pergerakan lempeng bumi yang mengakibatkan pergerakan tanah membentuk atol. Sehingga memperangkap air laut di dalamnya, lalu bercampur dengan air tanah dan air hujan. Danau yang tercampur dari berbagai elemen ini merupakan fenomena alam yang terjadi dua juta tahun lalu. Jadi, pada saat berenang disana, air terasa tawar namun ada rasa asinnya. 

Danau ini dikenal dengan nama Pulau Kakaban. Menurut cerita dari penjaga pulau, nama ini berasal dari para pelaut, masyarakat Bajo. Mereka memberi nama Kakaban karena bentuk atol seperti bentuk memeluk.  


Setelah menepi di dermaga, kami tak lupa untuk berfoto di pintu selamat datang Pulau Kakaban. Untuk menuju ke danau, masih sekitar satu kilometer menyusuri jalan seperti tangga yang terbuat dari kayu ulin. Sensasi ini membuat saya tidak sabar untuk bertemu biota yang ada disana.

Danau Kakaban merupakan danau yang unik. Dengan adanya proses geologi, makluk seperti ubur-ubur terjebak di dalamnya. Namun, Cassiopea nama lain dari makhluk yang memiliki tekstur kenyal seperti jeli ini sudah berevolusi, tidak menyengat untuk bertahan hidup berbeda seperti ubur-ubur umumnya. Tidak sabar bukan untuk berenang dan foto bareng ubur-ubur di Kakaban?

Setelah menyusuri hutan bakau dan jenis pohon lainnya, terlihat cahaya terang membentuk sebuah cekungan yang luas. Itu dia! Danau Kakaban yang saya nanti-nanti. Secara otomatis kesabaran saya lebih mempercepat langkah kaki, namun harus berhati-hati karena harus menuruni anak tangga lagi. Cukup lelah karena terburu-buru ingin melihat ubur-ubur tak menyengat!




Pengalaman berbeda lainnya dari Kepulauan Derawan. Setelah menapak di Pulau Maratua, Kakaban merupakan Pulau yang eksotis bagi saya. Belum saja untuk menyemplung, sudah terlihat jellyfish lake berwarna seperti putih transparan dan kekuningan berada di permukaan.

Snorkling di Kakaban memiliki aturan sendiri. Tidak menitik beratkan kita kok untuk datang kesana. Syarat pertama, jangan melompat ke dalam air. Kedua, jangan memakai fin karena lompatan kita dan kibasan dari sepatu katak dapat melukai bahkan membunuh ubur-ubur. Sayang bukan karena kecerobohan kita ekosistem disini terancam?

Tidak perlu takut ketika melihat ubur-ubur. Mereka mahkluk yang ramah. Boleh menyentuhnya namun lakukan dengan perasaan, seperti sayang kamu ke aku,"sayang, sayang..", ceilah!!



My sister say; wouww! It's nice and funny

Dea say; so soft and friendly. Umbel

My friend, Jodi say; so lovely and amazing like xxx


Chewy but adorable

Sunday, March 9, 2014

Amazing Feeling : Bromo Mount.


Pagi buta, pada pukul setengah dua dini hari saya dan teman-teman pergi dari Malang menuju ke Desa Tumpang. Setiba disana kami mengganti kendaraan dengan mobil Jeep, 4x4 wheel drive. Kondisi cuaca saat itu cukup dingin. Terlihat kepulan asap tipis keluar dari mulut atau hidung jika bernafas atau berbicara. Tak lupa dengan jaket tebal agar suhu tubuh tetap hangat.

Sekitar 1 jam perjalanan dari Tumpang menanjak ke Bromo. Menyenangkan rasanya dapat berkendara dengan atap terbuka. Selama perjalanan, langit yang gelap rasanya menerangi perjalanan. Meskipun bulan tidak terlihat, langit menjadi cerah karena adanya rasi bintang yang bersinar membentuk sebuah galaksi. 

Udara dingin pun tak terlalu terasa ketika melihat bintang-bintang bertebaran. Rasanya tenang, riang dan takjub akan pemandangannya. Tak lama menikmati bintang, kondisi jalanan berubah menjadi menanjak dan menuruni bukit. Setelah menuruni bukit, perjalanan berubah menjadi berkabut yang super tebal. Saya bersama yang lainnya membantu pengemudi, si Cak Ren untuk menentukan arah, "kiri, kiri, Cak!! Kanan, kanan, Cakk!".

Kondisi perjalanan benar-benar gelap. Bintang pun sudah tak terlihat karena tertutup kabut. Mata hanya bisa melihat lampu Jeep yang menyorot ke depan. Perkiraan saya, jarak pandang tidak lebih dari 1 meteran yang terlihat. Meski belum habis setengah perjalanan, saya sudah menikmati keseruannya. Perjalanan kali ini menyenangkan, menegangkan dan menabjubkan! 

                                                                                                                                                               Photo by Imam Wahyudi


Setelah memasuki daerah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, kami menuju ke Penanjakan. Lokasi tersebut merupakan tempat untuk melihat matahari terbit. Setibanya di Penanjakan, sekiranya perlu 15 menit berjalan kaki menuju lokasi. Sesampainya diatas, kami mengatur nafas dan bercengkrama dengan yang lainnya. 

Langit gelap seakan berbicara dengan saya. Tak lama menunggu, terlihat pancaran warna orange yang ingin menunjukkan sosoknya. Sejaman saya melihat perpindahan gradasi langit yang gelap berubah menjadi terang. Selain dari itu, pemandangan yang tak biasa dilihat adalah ketika kabut terlihat rendah di antara pepohonan dan pedesaan di bawah bukit. Celah matahari masuk menyinari kesela-sela pohon merupakan objek yang sayang untuk dilewatkan.

Enjoy and relax


  





Matahari terbit dari sebelah kiri. Keasyikan saya terbagi menjadi dua, antara melihat fenomena dan memotret momen terbitnya matahari. Setelah puas, pemandangan menjadi lebih jelas terlihat. Sisi kanan terlihat Gunung Bromo yang bersebalahan dengan Gunung Batok. Lelah maupun stress akan hilang ketika berada di puncak melihat indahnya dunia.





Monday, February 17, 2014

Inside Borneo : Dayak Kenyah

Potret Masyarakat Dayak Kenyah, Long Alango 1950-an
Cobalah kenali sejarah budaya walaupun sedikit. Dari Sabang hingga Merauke banyak sekali kepulauan dan masyarakat lokal yang tinggal di dalamnya. Salah satu pengalaman yang berharga ketika saya mencari pemukiman masyarakat Dayak Kenyah di Kalimantan. Saya mencoba menyusuri persebaran mereka dari Kalimantan Timur hingga masuk ke pedalaman Kalimantan bagian Utara. 

Penyusuran kali ini, selain bertemu masyarakat Dayak Kenyah di pedalaman, saya ingin melihat kesenian, budaya dan tradisi yang dikatakan kuno. Selama perjalanan, selain tarian dan permainan musik, hal yang sudah menjadi langka untuk dijumpai adalah tato dan kuping panjang. Hal itu merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat Dayak Kenyah. Karena tidak semua masyarakat Dayak di Kalimantan menggunakan tato dan memanjangkan kupingnya. Tradisi ini pun sudah ada sejak turun temurun. Tahu mengapa?

Kuping panjang Apui (Nenek) Lembesan
Dulu, alasan orang Dayak Kenyah memanjangkan kupingnya adalah untuk membedakan yang mana manusia dan Orang utan. Jika masih kecil, guyonan mereka kalau tidak memanjangkan kupingnya, akan dibilang, "ihh seperti Orang utan aja..". Selain itu, alasan memanjangkan kuping adalah membedakan antara laki-laki dan perempuan. Karena saat malam hari kondisi penerangan pemukiman atau rumah sangatlah minim. 

Perbedaan kuping panjang laki-laki dan perempuan adalah kuping perempuan lebih panjang dibandingkan laki-laki. Hal itu dikarenakan laki-laki harus bekerja atau berburu makanan, maka kuping tidak terlalu panjang dan tidak terlalu berat membawa anting-anting selama perjalanan. Anting-anting tersebut dipasang setiap waktunya dimulai sejak usia dini. Mereka pun beranggapan, perempuan yang memiliki telinga panjang merupakan wanita yang cantik di desa tersebut. Kuping panjang pun pernah menjadi identitas diri untuk membedakan Dayak Suku Kenyah dengan Dayak suku lainnya. 

Meski tradisi ini masih dijalani 70 tahunan silam, kini sudah jarang untuk bertemu masyarakat Kenyah yang memiliki kuping panjang. Setidaknya, saya masih bertemu di beberapa desa. Usia yang paling muda, kini sudah mencapai usia 80 tahunan. 

Dayak Kenyah Generasi 80+
Kiri ke kanan : Oko Balan Ingan, Apui Ahan Lian dan Apui Lembasan
Sangat disayangkan, banyak masyarakat Dayak Kenyah, terutama kaum wanita memotong kuping panjangnya agar terlihat normal kembali. Menurut mereka setelah mengenal masyarakat luar, memanjangkan kuping merupakan hal yang tidak baik dilakukan. Bagi masyarakat luar pun berpikir bahwa, orang yang kupingnya panjang dikatakan aneh, tidak seperti masyarakat lainnya yang hidup di perkotaan. 

Selain itu, budaya tato Dayak Kenyah pun merupakan ritual yang dapat dilakukan seiring waktu dengan pembuatan kuping panjang. Pada zamannya, tato dan memanjangkan kuping merupakan kegiatan yang tak terpisahkan. Namun, tidak semua masyarakat yang memanjangkan kuping lalu menato tubuhnya. Hanya orang tertentu saja yang bisa menato tubuh. Tato Dayak Kenyah yang saya jumpai terdapat pada kaum wanita. 

Tato bagi mereka merupakan simbol kehidupan. Kehidupan yang terjadi pada masyarakat Dayak suku Kenyah berawal atas terciptanya suatu raga dan jiwa yang baru. Suatu kelahiran dianggap mereka sebagai manusia yang sempurna dengan keadaan murni dan belum memiliki tato. Leluhur Dayak Kenyah pun memberikan keyakinan kepada keturunannya agar menato tubuh pada saat memasuki usia dewasa. 

Hasil rajah tangan motif Dayak Kenyah Nek Djigit 

Tato di kaki merupakan kaum bangsawan
Tato Dayak Kenyah yang saya jumpai di buat di tangan, dari jari-jari hingga pergelangan. Ada juga yang membuat tato di bagian kaki. Tato dibagian kaki merupakan kaum yang terhormat. Pembuatan tato pun dikerjakan dalam kurun waktu yang lama dengan merasakan sakit akibat luka dari proses menato. 

Tato suku Kenyah dalam kesehariannya merupakan sebuah tanda yang menghasilkan sebuah makna dari simbol yang ada. Tato merupakan bagian dari sejarah budaya maupun kesenian yang tercipta dari kepingan zaman. Tato menjelaskan juga bahwa Indonesia merupakan tempat pembuat tato pada zaman dulu. 



Other Stories ; 

Monday, February 10, 2014

Local Citizen Residential : Dayak Kenyah

Desa Masyarakat Dayak Suku Kenyah di Bahau Hulu

Sudah sekitar tiga mingguan saya berada di pedalaman Kalimantan. Tepatnya, di Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau. Senang rasanya sudah bisa berbaur dan dapat diterima oleh masyarakat pedalaman. Memang, saat pertama kali saya datang, selain rasa bahagia karena sudah mencapai tujuan awal, yaitu menemukan pemukiman pedalaman Suku Kenyah, di minggu pertama, saya masih merasakan kesepian, terutama di malam hari. Namanya juga pedalaman.. Hahahaa

Jangan salah dengan istilah pedalaman. Pertama kali saya membayangkan "pedalaman" adalah pemukiman masyarakat tanpa adanya fasilitas dan masih tradisional. Akan tetapi, pemukiman masyarakat pedalaman sudah cukup maju dan masih berkembang. Hal yang membuat kangen akan pedalaman Bahau Hulu adalah udara yang segar, adem, dan mendapatkan kedamaian di daerah ini. 

Kalau boleh jujur, hari pertama saya tinggal di rumah Kepala Adat, Pak Anyie Apui, di Desa Long Alango, saya rasanya ingin pulang! Hanya alasan klasik, bukan karena disini tidak adanya sinyal, bukan juga karena penggunaan listrik yang terbatas disaat malam hari. Rasa ingin pulang karena kangen rumah. Alasan klasik, bukan? Tapi itu hanya perasaan saja karena perjalanan ini saya tempuh sendirian.

Membuat wadah dari anyaman rotan

Gotong royong untuk membuat minuman dari singkong

Wadah untuk memasak minuman dari singkong

Rasanya agak asin manis, katanya terasi tapi terbuat dari buah

Aktivitas warga di pedalaman adalah bertani, menganyam, hingga berburu. Jadi, jangan pernah berpikir akan kesusahan mencari makan kalau pergi ke pedalaman. Makanan disini menurut saya organik. Makanan sehari-hari berasal dari hasil menanam sendiri, seperti beras, singkong, kangkung, pakis hingga sayuran yang berasal dari hutan. 

Kalau kamu seorang vegetarian atau vegan, jangan cemas untuk datang ke pedalaman. Karena masyarakat Dayak juga gemar makan sayuran. Selain itu, masyarakat Dayak juga suka mengkonsumsi daging, jika mereka mau, harus berburu dulu. Berburu dilakukan oleh laki-laki. Biasanya mereka lebih memprioritaskan daging babi daripada rusa atau kijang atau hewan buruan lainnya. Sangat mandiri bukan masyarakat pedalaman? Mereka bisa saja hidup tanpa uang, jika kalau mereka menginginkannya. 

Kegiatan yang tidak akan pernah berhenti dilakukan adalah mencari kayu dan masak. Jelas sudah, kayu dibakar untuk memasak. Jenis dapur disetiap rumah di desa-desa kurang lebih hampir sama. Bagi masyarakat kota, pasti tidak terbiasa memasak disini, karena di dalam dapur pasti mengepul asap yang cukup tebal. 


Anjing yang ada di perkampungan sering menemani masyarakat berburu
Selama beberapa minggu di pedalaman, sedikit rasa jenuh didapati. Tentu saja, maupun sekali-kali sebelum tidur saya masih mendengarkan musik dari gadget, ketergantungan akan elektronik berkurang bagi saya. Selalu ada saja yang dilakukan setiap harinya. Selain bersosialisasi, selama di pedalaman, saya dapat melatih skill, seperti menganyam, memasak atau bertani. Meskipun terik matahari di sana sangatlah terik, bercocok tanam hal yang saya gemari daripada menganyam. Menurut saya, menganyam diperuntukan bagi manusia yang benar-benar rajin dan telaten. 

Budaya yang mereka berikan sangatlah ramah. Jika bermain ke rumah warga, setidaknya disuguhkan kopi atau teh hangat. Menurut saya, minuman selamat datang dari mereka kurang lebih manisnya seperti sajiannya orang Jogja. Untung saja masyarakatnya sudah bisa berbahasa Indonesia, jika tidak, janganlah cemas, anak-anak Dayak Kenyah kebanyakannya mengerti dua bahasa, yaitu Indonesia dan bahasa Kenyah. Jadi, dalam perjalanan saya kali ini, sering ditemani sama anak-anak, biasanya sepulang mereka sekolah saya diajak jalan-jalan. Sore hari biasanya mandi di sungai! Hati-hati ada buaya katanya.. 

Desa Long Kemuat, Bahau Hulu

Salah satu pengalaman lainnya yang membuat saya terkesan, bertamu di pagi hari ke tempat suami istri yang usianya sudah mencapai 80 tahunan lebih. Mereka kurang berbahasa Indonesia dengan lancar. Selama saya bertamu kesana, kebingungan saya akan bahasa teralihkan karena si Uwe' (panggilan seorang ibu dalam bahasa Kenyah), pandai menganyam sebuah topi khas Dayak Kenyah. Cukup susah untuk mempelajarinya pertama kali. Bahan rotan berbilah tipis dan kecil, cukup pusing untuk mempelajari pola anyaman, asal konsentrasi penuh, topimu akan jadi juga. Senang rasanya bisa membantu dan dikasih pula topi buatan tangan sebagai kenang-kenangan.

Sayang sekali, kuping si Uwe' dipotong. Dulunya kupingnya panjang seperti cerita atau gambar wanita masyarakat Dayak Suku Kenyah. Banyak terjadi pergeseran budaya karena adanya moderinisasi yang tidak disadari dampaknya ke masa depan.  

  
Topi yang dianyam, terbuat dari rotan. Ditambah manik-manik agar tambah menarik

Hari pun berganti hari. Tibalah saatnya saya harus meninggalkan desa di pedalaman Kalimantan ini. Perasaan sedih pun ternyata muncul. Ada perasaan berat hati untuk kembali ke Ibu Kota. Tidak banyak peristiwa saya abadikan dengan mata kamera saya. Kenangan yang terekam oleh mata saya, akan terkenang, tak akan terlupakan dan hanya dari cerita inilah bisa abadi. 

Saya berharap dapat berkunjung kesana lagi, bertemu dengan masyarakat Dayak Kenyah dan bentangan nuansa alam yang indah. Masyarakat kota bukanlah masyarakat adat, masyarakat adat bukanlah masyarakat perkotaan. Maka masyarakat adat akan mati jika tidak ada hutan. 

Terima kasih telah menjaga hutan dan mari kita menjaga hutan untuk menjadi warisan turun-temurun.



Other stories ;